Pages

25 October, 2015

Negara Belum Pergi dari Rahimku

Intervensi Negara Terhadap Rahim Perempuan


               Tepatnya empat bulan lalu, tidak sengaja saya melihat cuplikan program televisi Mata Najwa yang saat itu tengah mengangkat topik bupati-bupati berprestasi di sejumlah daerah. Para bupat ini dianggap sosok yang berbeda dari pemimpin daerah kebanyakan karena memiliki gaya kepemimpinan yang dekat dengan rakyat. Satu sosok yang cukup menarik perhatian saya saat itu adalah Bupati Gorontalo, David Bobihoe Akib. Hal yang menarik adalah ketika Najwa Shihab menyoal program ibu hamil yang dijalankan oleh pemerintah daerah Gorontalo yang tidak hanya melibatkan tenaga medis atau dinas terkait saja namun juga aparat keamanan seperti TNI dan polisi. Menurut keterangan sang bupati, tingginya angka kematian ibu (AKI) di Gorontalo membuat pemerintah membentuk petugas khusus dalam menjalankan program perawatan ibu hamil, yakni G-gas atau Gugus Petugas. Satuan petugas ini terdiri atas tokoh agama, tokoh masyarakat, Polsek, Polres, Ramil, dan Babinsa yang siap ‘menggiring’ para perempuan yang enggan mengakses layanan kesehatan modern. Ya, masyarakat Gorontalo enggan mengakses layanan kesehatan modern karena mereka masih memiliki kepercayaan yang kuat terhadap bidan kampung daripada tenaga medis profesional. Bupati juga menambahkan, kalau dengan menempatkan tenaga-tenaga medis professional di desa-desa ini akan menjadi hal yang percuma karena kepercayaan masyarakat saja masih rendah terhadap mereka. Lalu apakah tugas aparat keamanan atau tenaga para militer ini? Aparat keamanan ini bertugas untuk memaksa ibu-ibu hamil agar mau mengakses layanan rumah bersalin atau Puskesmas.
         Dalam kerangka SDG’s, sustainable development goals yang merupakan bentuk penyempurnaan dari Millennium Development Goals, di tahun 2015 ini Indonesia menargetkan turunnya rasio kematian ibu hingga 102 per 100.000 per kelahiran hidup. Sebelumnya, sampai tahun 2007 rasio kematian ibu di Indonesia mencapai 228 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut maka, pemerintah Indonesia memastikan bahwa semua kelahiran akan ditangani oleh tenaga bidan profesional. Jika berkaca pada data profil dinas kesehatan propinsi Gorontalo, Kabupaten Gorontalo dapat dikatakan memiliki angka kematian ibu tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota di Propinsi Gorontalo lainnya. Penyebab dari kematian ini umumnya dikarenakan perdarahan, hipertensi, infeksi, dan abortus. Maka untuk menekan AKI ini pemerintah memilih cara yang opresif terhadap perempuan daripada menggunakan pendekatan yang berprespektif kesetaaraan gender. Melalui kebijakan semacam ini pemerintah daerah kabupaten Gorontalo telah melanggar hak perempuan yang menjadi bagian dari hak asasi manusia. Hal ini seperti yang telah tercantum dalam Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Dalam instruksinya, presiden menghimbau lembaga-lembaga Negara termasuk pemerintah daerah agar pengarusutamaan gender digunakan sebagai pendekatan untuk menyusun, melaksanakan, dan mengevaluasi kebijakan serta program pembangunan nasional sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing.       
                                                                                                                          
               Jika kita tarik ke belakang, pelibatan aparat keamanan dalam program pelayanan kesehatan ibu juga pernah terjadi pada masa Presiden Soeharto. Saat itu pemerintah melibatkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dalam program Keluarga Berencana (KB) untuk meningkatkan jumlah akseptor. Para perempuan yang enggan menggunakan alat kontrasepsi kemudian akan dipaksa agar mau menjadi akseptor melalui pengerahan ABRI. Beberapa tahun kemudian kebijakan serupa juga terjadi pada masa pemerintahan SBY. Kebijakan ini kemudian menuai kritik terutama dari kalangan aktivis dan pemerhati hak perempuan, yang dituangkan dalam naskah pernyataan bersama untuk memperinghati Hari Perempuan Internasional tahun 2009.
               Masuknya militer sampai ke ranah privasi warga Negara, dalam hal ini adalah tubuh perempuan, merupakan bentuk kekerasan terhada perempuan. Hal ini sesuai dengan yang tertulis dalam Deklarasi PBB Tahun 1993 pasal 1, yang berbunyi:

kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat pada kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi.”

         Tindakan pemaksaan terhadap perempuan oleh angkatan bersenjata agar mau menjadi akseptor atau berobat kepada tenaga medis, termasuk bentuk pelanggaran hak asasi manusia karena telah mengabaikan hak atas otoritas tubuh perempuan. Sudah seharusnya perempuan mendapatkan hak atas perlindungan di segala bidang termasuk kesehatan, seperti yang tertuangdalam pasal 3 di dalam deklarasi tersebut.
    
          Sudah seharusnya pemerintah tidak lagi mengintervensi tubuh perempuan apalagi melalui tindakan kekerasan baik fisik maupun psikis. Pendekatan yang lebih humanis dengan menjunjung tinggi HAM, khususnya hak kesehatan reproduksi dan seksual, sudah sepatutnya dilakukan untuk memberikan pelayanan kesehatan terhadap perempuan. Melalui edukasi dan pendampingan kepada masyarakat misalnya, langkah-langkah tersebut bisa ditempuh untuk menekan tingginya angka kematian ibu dan bayi. Rahim perempuan merupakan sumber kehidupan, sudah sepatutnya diberikan jaminan penuh atas kesehatannya dan hak-hak atas otoritas tubuh perempuan itu sendiri.


Tantri Swastika

*Tulisan ini dibuat untuk mengikuti salah satu kompetisi menulis dengan tema Perempuan, Kesehatan Reproduksi, dan Seksualitas

No comments:

Post a Comment