Pages

19 June, 2016

Riuhnya PSS Sleman Menyambutmu



      Dari jauh terdengar keriuhan yang berasal dari Stadion Maguwoharjo. Aneh, karena pertandingan baru akan dimulai lebih dari satu jam lagi. Sebagai satu-satunya bule yang berada di area stadion, aku berjalan menuju tribun utama dengan penuh rasa penasaran. Ketika aku benar-benar memasuki stadion, aku terkejut: kedua sisi tribun yang lebih kecil sudah penuh. Terutama tribun selatan atau Curva Sud. Para supporter disana betul-betul bergelantungan di pagar, sementara lapangan masih kosong. Aku duduk di bangku beton dan mengamatinya selama 5 menit.

PSS Sleman merupakan sebuah klub asal Indonesia, tepatnya dari Yogyakarta. Klub ini merupakan juara bertahan dan sangat populer di kalangan anak muda. Selain itu Sleman juga terkenal akan suporternya; Brigata Curva Sud. Terinspirasi oleh Curva Sud AC Milan, mereka mencoba mendukung klub mereka.

Pertandingan yang aku tonton adalah pertandingan antara PSS Sleman melawan Persenga Nganjuk (3-1). Pertandingan ini merupakan pembuka dari kompetisi Liga Premier Indonesia 2014. Pesepakbola Kristian Adelmund, mantan pemain muda Feyenoorder dan sekarang bermain untuk PSS Sleman, berkata padaku sebelum pertandingan. Ia mengatakan bahwa kondisi di tribun bisa sangat gila. Bagi Adelmund, setiap pertandingan terasa menyenangkan saat ia memasuki lapangan, ujarnya.

Sumber: dari sini

Semangat

Dapat kamu perhatikan langsung ketika sampai di pintu masuk, bahwa orang-orang Indonesia sangat bersemangat. Meskipun sepakbola disini tidak berada pada level yang tinggi, namun orang-orang mendukung 110 persen klub mereka. Selama pemanasan, hujan rintik-rintik mulai turun. Seorang pria berlari dengan menggendong anak laki-laki berusia sekitar 1 atau 6 tahun di pundaknya. Keduanya turut bernyanyi dengan lantang: “Sleman till I die! Sleman till I die!” dengan pancaran dimata mereka seolah ini pertandingan kejuaraan. Mereka berada di tribun utama.

Saat tim lawan  memasuki lapangan, suara terdengar sedikit menghentak. Dari yang tadinya penuh dengan euphoria, kemudian menjadi penuh kebencian. Pertandingan segera dimulai dengan bunyi siulan kencang dan potongan-potongan kertas, lumpia, botol minum, serta gulungan tisu toilet yang menghujani lapangan. Lawan pun 'disambut'.



Koreografi

Aku tahu kalau Curva Sud telah menyiapkan sesuatu, bahkan sebelum aku memasuki stadion. Di pintu masuk para gadis berdiri, mereka mengumpulkan uang untuk menyemarakkan pertandingan. "Ini untuk tujuan baik", pikirku. Dan aku memberikan 20,000 rupiah, atau senilai 1,30 Euro. Gadis tersebut heran melihatnya, bagi orang Indonesia jumlah tersebut merupakan jumlah yang besar.

Sesaat sebelum pertandingan dimulai, sejumlah anggota Curva Sud mengelilingi stadion. Disana dibagikan kertas ukuran A3 dengan bermacam-macam warna, semua orang mengerti maksudnya. Tapi khusus di tribun Brigata Curva Sud, koreo sudah dimulai sebelum pertandingan berlangsung. Dengan menggunakan kertas-kertas berukuran A3, orang-orang memperlihatkan gambar sebuah piala besar. Mereka dengan jelas menunjukkan bahwa PSS Sleman adalah juara liga tahun lalu dan akan memenangkannya kembali pada tahun ini.
Saat para pemain bermunculan di lapangan, seluruh stadion turut menyambutnya. Kertas-kertas berhamburan keatas dan kebawah, dilambaikan dan dilemparkan. Bagi supporter sepakbola Eropa, hal tersebut merupakan sesuatu yang menakjubkan.

Menit '85
Sebelumnya aku telah diberitahu oleh Kristian Adelmund, dia berkata padaku bahwa aturan mengenai kembang api selama pertandingan diperketat. Sebelum dan selama pertandingan dilarang menyalakan flare/ kembang api. Sebaliknya, setelah pertandingan kembang api boleh dinyalakan. "Seluruh stadion menyala", kata Adelmund. Inilah saat yang kunantikan.
Menit ke-85. Disana-sini muncul nyala api.  "Mendebarkan", pikirku. Sejauh 15 meter, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun mulai melambaikan tangan dengan sebuah bom asap. Hal ini tampaknya menjadi tanda bagi seluruh stadion untuk menyalakan obor, kembang api, dan bom asap. "No Pyro, No Party", kata seorang penonton Indonesia dalam bahasa Inggrisnya yang bagus, sambil menengok kearahku dari belakang. Jelas sudahseperti apa yang telah dikatakan Adelmund dan aku akan menikmatinya.  Sangat jarang kamu melihat fenomena ini secara langsung. Pun di seberang tribun Curva Sud, dimana kelompok pendukung lainnya berada, yakni Slemania, telah menyalakan obor dan bom asap. Stadion menjadi lautan asap dan api.  Menyenangkan dan membuatku merinding.
Sumber ada di sini






Penuh Keriuhan, Kurang Pengalaman

Yang menarik perhatian saat di stadion adalah sedikitnya respon yang diberikan pada permainan. Memang saat itu penuh dengan keriuhan, 90 menit para pendukung Sleman bernyanyi dan berteriak. Namun jika ada sebuah pelanggaran serius, dan pelanggaran-pelanggaran itu terjadi, maka suara para pendukung PSS nyaris tidak terdengar. Mereka tetap ‘teguh’ terus bernyanyi dan melambai-lambaikan bendera. Pun selama gol-gol dicetak, dimana terdapat satu gol indah (yakni sebuah tendangan dari jarak 25 meter kearah sudut atas gawang), tidak banyak reaksi seperti yang kubayangkan. Tentu saja semua orang berlompatan, namun setelah itu mereka hanya terus bernyanyi di sisa menit berikutnya, kali ini lebih lantang.
Ungkapan “hanya bernyanyi ketika tim-mu unggul” tidak berlaku bagi mereka.

Kualitas
Dari permainannya, tampak bahwa para pemain Indonesia tidak punya banyak pengalaman. Level Liga Premier Indonesia tidak lebih dari liga di Belanda. Meskipun begitu pertandingan tersebut cukup menarik untuk disaksikan. Banyak yang terjadi dalam pertandingan ini: empat gol tercetak, satu diantaranya merupakan gol yang indah, pelanggaran-pelanggaran berat serta serangan kecil tiki-taka dari tim Sleman.
Para pendukung di atas tribun adalah yang terbaik. Hal ini tidak pernah aku alami sebelumnya. Berdiri di belakang timmu selama Sembilan puluh menit, merupakan sesuatu yang luar biasa. Menjadi hal baru bagiku ketika kumpulan orang-orang dengan penuh semangat bisa ikut bersorak untuk tim mereka. Sebagian besar penonton duduk dengan merinding di Stadion Maguwoharjo. Banyak klub Eropa bisa belajar sesuatu dari sini.


Artikel tamu ini ditulis oleh Sven Wanders, yang telah tinggal di Indonesia (dan menikmatinya) selama 3 minggu dalam rangka studi di bidang jurnalistik.

----
Artikel ini merupakan hasil terjemahan dari laman:
Apabila ada kesalahan atau ketidaksesuaian maupun kekurangan dalam penerjemahan, harap sampaikan kepada penulis melalui kolom komentar dibawah ini atau email ke: swastika.tantri@gmail.com.

No comments:

Post a Comment